Selasa, 14 Juni 2011

Ibu Bersalin

Oleh : Septian, AMK
Kehamilan dan persalinan merupakan hal yang wajar terjadi pada seorang perempuan. Kedua hal tersebut berperan penting dalam proses reproduksi guna mempertahankan kelestarian spesies manusia. Meskipun merupakan suatu hal yang fisiologis, kehamilan dan persalinan memiliki banyak resiko yang dapat membahayakan nyawa ibu dan janinnya.
Seorang ibu ketika akan mendekati waktu kelahiran bayi perlu untuk mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin. Persiapan yang perlu dilakukan adalah memilih tempat bersalin yang memadai dan nyaman, dan memilih tenaga kesehatan yang akan menolong proses bersalin. Tenaga kesehatan yang dianjurkan pemerintah dalam menolong persalinan misalnya dukun beranak terlatih, bidan dan dokter. Menuru data World Health Organization tahun 2009 kasus persalinan seksio sesarea darurat dengan indikasi anak besar 7 orang, partus tak maju 56 orang, letak kaki 1orang, letak bokong 8 orang, Preeklamsi berat 23 orang, his lemah 6 orang, gawat janin 16 orang, plasenta previa 15 orang, gameli 6 orang, KPD 11 orang, oligohidramnion 3 orang, CPD 7 orang, KJDK 10 orang, Preeklamsi ringan 15 orang, Eklamsi 13 orang, Post date 42 orang. (WHO, 2009)
Permasalahan ketersediaan tenaga kesehatan tersebut tidak menjadi masalah pada daerah kota atau desa yang mudah terjangkau tetapi menjadi masalah bagi desa-desa yang terpencil atau terisolir dimana tenaga penolong persalinan tidak memiliki pengetahuan persalinan yang cukup baik dalam hal teknik persalinan maupun kebersihan proses persalinan. Pada masa sekarang pemerintah mengusahakan seiring dengan semakin banyaknya lulusan tenaga terlatih menyebarkan secara merata ke daerah-daerah terpencil para tenaga penolong persalinan tersebut. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 2009 kasus persalinan seksio sesarea darurat dengan indikasi anak besar 5 orang, partus tak maju 43 orang, letak kaki 1orang, letak bokong 5 orang, Preeklamsi berat 23 orang, gawat janin 20 orang, his lemah 2 orang, plasenta previa 9 orang, gameli 4 orang, KPD 12 orang, oligohidramnion 6 orang, CPD 5 orang, KJDK 4 orang, Preeklamsi ringan 3 orang, Eklamsi 3 orang, Post date 13 orang. (SDKI, 2009)
Angka kematian ibu di Indonesia pada saat persalinan tergolong tinggi diantara negara berkembang. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena angka kematian ibu adalah satu parameter yang menunjukkan kualitas pelayanan kesehatan suatu negara. Hal ini mengakibatkan pentingnya bagi seorang tenaga kesehatan khususnya dokter dalam memandu suatu pimpinan persalinan. Seorang dokter dituntut memiliki kompetensi untuk mendiagnosis dan melakukan tindakan penanganan suatu persalinan normal. Di Medan kasus persalinan seksio sesarea darurat pada  dengan indikasi anak besar 5 orang, partus tak maju 40 orang, letak kaki 1orang, letak bokong 5 orang, Preeklamsi berat 10 orang, gawat janin 7 orang, plasenta previa 7 orang, gameli 6 orang, KPD 3 orang, oligohidramnion 9 orang, CPD 4 orang, KJDK 7 orang, Preeklamsi ringan 1orang, Eklamsi 4 orang, Post date 21 orang, his lemah sebanyak 6 orang. (Irawan, 2009)
Dengan semakin berkembangnya ilmu kedokteran khususnya ilmu mengenai obstetri dan ginekologi maka semakin berkembang pula teknik-teknik dalam persalinan untuk mencegah kematian dan komplikasi akibat persalinan

Selasa, 07 Juni 2011

PREMATUR

Diposkan oleh : siti romina, Am Keb
Visi Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 yaitu anak Indonesia yang sehat tumbuh dan berkembang, cerdas, ceria, berakhlak mulia, terlindung dan aktif berpartisipasi disamping ibunya yang sejahtera. Apabila kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak tidak diberikan prioritas dan perhatian khusus maka kondisi bangsa dan negara Indonesia pada tahun 2015-2020 akan semakin terpuruk lagi karena buruknya kualitas SDM (Depkes RI, 2004).
Kematian perinatal merupakan tolok ukur kemampuan suatu negara dalam upaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan menyeluruh, akibatnya makin tinggi kematian perinatal menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang buruk. Salah satu penyebab tingginya angka kematian perinatal atau sekitar 70% disebabkan oleh persalinan prematur (Manuaba, 2007).
Persalinan prematur menjadi perhatian utama dalam bidang obstetrik karena erat kaitannya dengan morbiditas dan mortalitas perinatal dan persalinan prematur merupakan penyebab utama yaitu 60-80% morbiditas dan mortalitas neonatal di seluruh dunia (Suardana dkk, 2004). Dan angka kejadian kelahiran prematur yang masih tinggi yaitu di Amerika Serikat kejadiannya 8-10% dan di Indonesia kejadiannya 16-18% dari semua kelahiran hidup (Sastrawinata, 2005). Pada tahun 2005 angka kejadian persalinan prematur di rumah sakit Indonesia sebayak 3142 kasus dan pada tahun 2006 yaitu sebayak 3063 kasus (Depkes RI, 2008). Di Asia angka kematian neonatal yang disebabkan karena prematur sebesar 413.000 atau 30% dari total kematian neonatal pada tahun 2000-2003. Di Afrika sebanyak 265.000 kematian neonatal atau sekitar 23% yang disebabkan karena kelahiran prematur dan di Amerika Serikat sebanyak 13.000 kematian atau sekitar 45% dari total kematian neonatal (WHO, 2005). Menurut puffer (1983) angka kematian bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram ditaksir 5 sampai 9 kali lebih tinggi dibanding bayi dengan berat badan lahir 2500-2999 gram dan 7 sampai 13 kali lebih tinggi dibanding bayi dengan berat badan lahir 3000-3999 gram.
Di negara -negara berkembang ibu yang memiliki bayi prematur tidak mengetahui tentang perewatan bayi prematur, ini diakibatkan oleh ibu-ibu tidak dapat pengetahuan bayi prematur selama persalinan dan setelah mereka dibolehkan pulang kerumah, sebanyak 250 orang ibu dari 500 orang ibu yang melahirkan bayi dengan keadaan prematur, yang tidak mengerti tentang perawatan bayi prematur menurut World Health Organization. (WHO, 2008)
Kelahiran prematur bisa disebabkan karena adanya masalah kesehatan pada ibu hamil maupun pada janin itu sendiri yang merupakan faktor risiko dari terjadinya kelahiran prematur. Akibat dari kelahiran prematur tersebut, anak yang dilahirkan akan mengalami berbagai masalah kesehatan karena kurang matangnya janin ketika dilahirkan yang mengakibatkan banyaknya organ tubuh yang belum dapat bekerja secara sempurna. Hal ini mengakibatkan bayi prematur sulit menyesuikan diri dengan kehidupan luar rahim, sehingga mengalami banyak gangguan kesehatan (Musbikin, 2005). Selain berpengaruh terhadap pertumbuhan janin yang terhambat, persalinan prematur juga memberikan dampak yang negatif; tidak hanya kematian perinatal tetapi juga morbiditas perinatal, potensi generasi akan datang, kelainan mental dan beban ekonomi bagi keluarga dan bangsa secara keseluruhan (Rompas, 2004).
Di pulau jawa sebanyak 150 orang ibu yang melahirkan bayi dengan keadaan prematur, sebanyak 100 orang ibu yang belum mengerti tentang perawatan bayi prematur, ini diakibatkan karena tenaga kesehatan yang ada kurang untuk memberikan informasi kepada ibu-ibu yang akan menjani persalinan. (Depkes RI, 2008)
Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi adalah berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia dan perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. (Maas, 2004).
Menurut  penelitian yang dilakukan lia armaini, di medan ibu -ibu yang memiliki bayi prematur sebanyak 56 orang, didapat kan sebanyak 43 orang yang belum mengerti tentang perawatan bayi prematur. (Medan, 2008)
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan Rumah Sakit pusat rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Barat dan Riau yang berada di bawah dan tanggung jawab langsung kepada Direktorat Jendral Pelayanan Medik (RSUHAM, 2007). Data di RSUP H. Adam Malik Medan menunjukkan jumlah bayi yang dilahirkan pada tahun 2007 sebanyak 527 bayi dan 63 bayi (11,95%) dilahirkan dengan kondisi prematur, yang merupakan kelahiran bayi yang sangat rentan terhadap kematian yang nantinya dapat meningkatkan angka kematian bayi di Indonesia khususnya Sumatera Utara.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh titi setriani, di Kab. Deli Serdang sebanyak 85 orang ibu-ibu yang melahirkan bayi dengan keadaan prematur, sebanyak 30 orang ibu masih belum mengerti dengan perawatan bayi prematur, ini diakibatkan bidan-bidan  atau tenaga kesehatan yang ada kurang memberikan informasi tentang perawatan bayi prematur kepada ibu-ibu yang memiliki bayi permatur. (Deli Serdang 2008)

ATRESIA ANI

Diposkan oleh : sumarni, S.kep, Ns
Diversi pada penyakit hirschsprung, atresia ani, masih merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia. Seperti, contoh penyakit atresia ani yang merupakan tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm sehingga mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak berhubungan langsung dengan rectum (Purwanto, 2001). Salah satu penatalaksanaan atresia ani ini adalah dilakukan kolostomi. Kata kolostomi mungkin tidak asing lagi seiring dengan banyak pasien yang dibuatkan kolostomi ditubuhnya. Banyak hal yang menyebabkan keputusan seorang dokter bedah untuk melakukan kolostomi bagi pasienya, salah satunya adalah adanya sumbatan dibagian distal saluran cerna baik karena tumor atau hal lainnya. Kolostomi bisa memberikan kesempatan pada pasien untuk hidup dan beraktivitas layaknya manusia normal. Sehingga, kualitas hidupnya bisa lebih baik. Mungkin yang akan jadi masalah adalah bagaimana perawatan kolostomi tersebut dilakukan (Koncek, 2008).
Dalam, merawat pasien kolostomi membutuhkan ketelitian kebersihan dan kesiapan yang baik karena jika tidak maka akan menimbulkan komplikasi infeksi yang mengakibatkan penyembuhan menjadi lama bahkan bertambah parah (Bets, 2002). Disini orang tua si anak sangat berperan aktif dalam melakukan perawatan kolostomi. Bagaimana tekhnik penggantian dan pemasangan kantong kolostomi, tekhnik perawatan stoma, ataupun waktu penggantian kantong kolostomi. Kontaminasi feses Universitas Sumatera Utara
merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab terjadinya infeksi pada luka sekitar stoma. Oleh karena itu pemantauan yang terus menerus sangat diperlukan dan tindakan segera mengganti balutan luka dan mengganti kantong kolostomi sangat bermakna untuk mencegah infeksi.
Menurut data dari World Health Organization, dari 500 balita yang dilahirkan pada bulan juni 2010 didapat kan sekitar 250 balit yang mengalami tindakan pembedahan kolostomi dikarena kan, sejumlah balita yang didata tidak mempunyai anus atau yang sering kita dengar dengan penyakit atresia ani. (WHO, 2010)
Menurut data dari Departemen kesehatan, dari sejumlah rumah sakit yang ada dipulau jawa, didapat sebanyak 85 bayi yang lahir pada tahun 2009 tidak mempunyai anus atau atresia ani, menurut saudara setiawan yang melakukan penelitian banyak orang tua dari balit ayang tidak mempunyai anus tidak mau anak nya dilakukan pembedahan kolostomi. (Depkes RI, 2009)
Angka kejadian penyakit atresia ani pada tahun 1990-1994 di RSUP dr. M. Jamil, Padang diperoleh 36 kasus , 25 (69.4 %) bayi laki-laki dan 11 (30,6%) bayi perempuan. Dan, pada saat peneliti studi pendahuluan di ruang bedah anak RSUP H. Adam Malik Medan diperoleh data bahwa, pada bulan Januari 2010 sampai bulan Maret 2010 terdapat 13 anak yang mengalami tindakan pembedahan kolostomi. Perempuan lebih banyak mengalami tindakan ini dibanding laki-laki. Perempuan berjumlah 8 anak, dan selebihnya laki-laki berjumlah 5 anak. Peneliti juga memperoleh data bahwa pada bulan Maret 2010, 3 orang tua dari anak yang mengalami tindakan kolostomi mengeluh tentang perawatan kolostomi yang benar. Karena selama ini mereka hanya melakukan perawatan kolostomi tidak berdasarkan prosedur yang baik. Tidak memikirkan apa efek samping yang dapat terjadi, bagaimana cara membuka kantung kolostomi dengan baik, membersihkan stoma, tidak tahu apa yang harus dilakukan jika kantung kolostomi sudah penuh dan tidak tahu kapan kantung kolostomi itu harus diganti. Hal ini juga diperlukan penanganan keperawatan dalam pemberian pelatihan perawatan kolostomi. Data yang saya peroleh dari perawat yang bekerja di ruang bedah anak RSUP H. Adam Malik Medan hanya 3 dari 11 perawat yang bekerja di RB2 anak yang mengajarkan perawatan kolostomi kepada orang tua yang memiliki anak dengan kolostomi permanen.

Rabu, 01 Juni 2011

MASA HAID PADA PEREMPUAN

Diposkan oleh : fitri amelia, 25 Juni 2009
Tentang sindrom PMS, sebuah sumber mengatakan sekitar 85% wanita mengalami gangguan fisik dan emosi menjelang masa ini. Gejala yang paling gampang dilihat dari sindrom pra menstruasi ini adalah mudah marah, pusing, depresi, perasaan sensitif, lelah dan tubuh agak membengkak. Selain itu, biasanya juga terjadi penumpukan cairan dengan payudara yang agak membengkak, ukuran panggul bertambah besar, wajah terlihat sembab, sakit kepala, dan nyeri di bagian perut. Perubahan perubahan mood, seperti mudah marah, meledak-ledak, dan sering menangis juga kerap menandai munculnya premenstrual syndrome (PMS) ini. Yang lebih gawat adalah PMS pun dapat menimbulkan depresi, terkadang sampai memunculkan perasaan ingin bunuh diri, dan bahkan keinginan melakukan kekerasan kepada diri sendiri ataupun ke orang lain (wahhh??, ngerinyaaa..)

Gangguan kesehatan sebelum haid biasanya dianggap hal yang lumrah bagi wanita usia produktif. Sekitar 55% wanita berusia 14 - 50 tahun dari 750 wanita di dunia, menurut suatu penelitian, mengalami sindrom pra-menstruasi atau yang lebih dikenal dengan PMS (pre-menstruation syndrome). Bahkan survai tahun 2009 di Amerika Serikat menunjukkan, PMS dialami 63% dari 630 wanita dengan sosio-ekonomi menengah yang datang ke klinik ginekologi. PMS memang kumpulan gejala akibat perubahan hormonal yang berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan sel telur dari ovarium) dan haid. Sindrom itu akan menghilang pada saat menstruasi dimulai sampai beberapa hari setelah selesai haid.(WHO, 2009)

Penyebab munculnya sindrom ini memang belum jelas. Beberapa teori menyebutkan antara lain karena faktor hormonal yakni ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron. Teori lain bilang, karena hormon estrogen yang berlebihan. Para peneliti melaporkan, salah satu kemungkinan yang kini sedang diselidiki adalah adanya perbedaan genetik pada sensitivitas reseptor dan sistem pembawa pesan yang menyampaikan pengeluaran hormon seks dalam sel. Kemungkinan lain, itu berhubungan dengan gangguan perasaan, faktor kejiwaan, masalah sosial, atau fungsi serotonin yang dialami penderita.
Sekitar 75% wanita berusia 14 - 50 tahun dari 500 wanita, menurut suatu penelitian, mengalami sindrom pra-menstruasi atau yang lebih dikenal dengan PMS (pre-menstruation syndrome). Berdasarkan survey demografi kesehatan Indonesia (SDKI)tahun 2009, PMS dialami 65% wanita dari 730 wanita dengan sosio-ekonomi menegah yang dating kerumah sakit RSCM. (Depkes RI. 2009)
Sindrom ini biasanya lebih mudah terjadi pada wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid. Akan tetapi ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya PMS. Pertama, wanita yang pernah melahirkan (PMS semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksima). Kedua, status perkawinan (wanita yang sudah menikah lebih banyak mengalami PMS dibandingkan yang belum). Ketiga, usia (PMS semakin sering dan mengganggu dengan bertambahnya usia, terutama antara usia 30 - 45 tahun). Keempat, stres (faktor stres memperberat gangguan PMS). Kelima, diet (faktor kebiasaan makan seperti tinggi gula, garam, kopi, teh, coklat, minuman bersoda, produk susu, makanan olahan, memperberat gejala PMS). Keenam, kekurangan zat-zat gizi seperti kurang vitamin B (terutama B6), vitamin E, vitamin C, magnesium, zat besi, seng, mangan, asam lemak linoleat. Kebiasaan merokok dan minum alkohol juga dapat memperberat gejala PMS. Ketujuh, kegiatan fisik (kurang berolahraga dan aktivitas fisik menyebabkan semakin beratnya PMS).Di Sumatera Utara hasil penelitian yang dilakukan susanto di sejumlah Rumah Sakit Umum di Medan mendapatkan hasil penelitian sekitar 45%  wanita yang mengalami PMS dari 590 wanita dengan ekonomi bawah.

Selasa, 31 Mei 2011

PENYAKIT MENULAR

Diposkan oleh : Muhamad rafai, 25 Juni 2008
Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis. Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um , ovoid  kokobasil, tidak bergerak, gram negative , tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50ºC tetapi bertahan pada suhu tendah 0- 10ºC dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.Tersebar diseluruh dunia . ditempat tempat yang padat penduduknya dan dapat berupa endemic pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack rate 80-100 % pada penduduk yang rentan. Bersifat endemic dengan siklus 3-4 tahun antara juli sampai oktober sesudah akumulasi kelompok rentan,  Menyerang semua golongan umur yang terbanyak anak umur , 1tahun, perempuan lebih sering dari laki laki, makin muda yang terkena pertusis makin berbahaya. Insiden puncak  antara 1-5 tahun, dengan persentase kurang dari satu tahun : 45%, 1-4 tahun : 15%, 5-9 tahun : 15%, 12 tahun lebih: 25% ( Amerika tahun 2007).
Bordetella pertusis merupakan bakteri penyebab penyakit batuk rejan (Whooping caugh). B. Pertusis adalah bakteri coccobacilus  gram negatif aerob yang berukuran sangat kecil dan hidup secara tunggal atau berpasangan. Metabolismenya adalah respirasi, tidak pernah fermentasi, dan secara taksonomi B. Pertusis ditempatkan pada ``Gram-negative Aerobic Rods and Cocci`` dalam taksonomi Bergey. Bakteri ini dapat dibiakkan dalam media kaya yang disuplemen dengan darah. Bakteri ini dapat ditumbuhkan pada medium yang terdiri dari buffer, garam dan sumber energi asam amino dan faktor penumbuh seperti nikotinamid.
Menurut data dari World Helath Organization, di Negara-negara berkembang banyak nya kasus pertusis terjadi pada umur 1-4 tahun : 29%, 5-9 tahun : 40%, 9-12 tahun : 15%, 12 tahun lebih : 16%, yang dilakukan penelitian pada tahun 2009 dinegara berkembang seperti amerika, china, jepang, dan korea. Angka kematian yang diakibatkan penyakit pertusis pada anak umur 1-12 tahun  sebanyak 1.500 kasus.(WHO, 2008)
 Bakteri B. Pertusis berkoloni pada silia dari sel-sel epitel  pernapasan manusia. Secara umum B. Pertusis tidak menginvasi jaringan, namun ada juga yang terdapat dalam makrofag alveolar. Bakteri ini bersifat patogen pada manusia dan beberapa macam primata tingkat tinggi lainnya. B. Pertusis dapat menghasilkan bermacam substansi dengan aktivitas racun yang dapat digolongkan ke dalam golongan eksotoksik dan endotoksik. Sekretnya memiliki adenilat siklase yang memasuki sel mamalia. Racun ini aktif secara lokal dan mengurangi aktivitas fagosit dan kemungkinan mambantu organisme untuk melakukan permulaan infeksi. Adenilat siklase diketahui sebagai hemolosin karena ia dapat melisiskan sel darah merah. Faktanya, ia bertanggung jawab terhadap keberadaan zona hemolisis sekitar koloni B. Pertusis yang ditumbuhkan dalam medium agar darah.
Selain itu racun yang dihasilkan oleh B. Pertusis adalah letal toksin atau biasa dikenal dengan sebutan dermonecrotic toxin yang menyebabkan inflamasi dan nekrosis lokal pada sisi B. Pertusis berada. Racun lain yang dihasilkan adalah tracheal cytotoxin yang beracun bagi epitel bersilia trakhea dan menghentikan detakan silia sel. Tracheal cytotoxin adalah fragmen peptidoglikan, yang tampak pada cairan ekstra sel dimana bakteri tumbuh secara aktif. Substansi ini membunuh sel bersilia dan menyebabkan ekstruksi mukosa. Bahan ini dapat merangsang pelepasan cytokinIL-1, dan juga menyebabkan demam.
Menurut data dari Survey Demografi Kesehatan Indonesia, penyakit pertusis sering terjadi pada                 anak-anak, umur 1-4 tahun : 15%, 5-9 tahun : 25%, 9-12 tahun : 40%, 12 tahun lebih : 20%, yang dilakukan penelitian pada tahun 2009 di beberapa kota di indonesia. Angka kematian yang diakibatkan penyakit pertusis pada anak umur 1-12 tahun  sebanyak 350 kasus.(Depkes RI, 2008)
Produk racun lain yang dihasilkan bakteri ini adalah pertusis toxin (PTx). Bahan ini adalah protein yang memperantarai kolonisasi dan tahaptoxoemic dari penyakit. PTx adalah dua komponen yakni eksotoksin A+B dari bakteri. Sub unit A adalah ADP ribosil transferase, sedangkan komponen B terdiri dari lima sub unit polipeptida. Terikat pada karbohidrat spesifik di permukaan sel. PTx ditransformasikan dari sisi tempat tumbuh B. Pertusis menuju ke berbagai macam sel yang dapat menerima dan jaringan dari inang. Setelah itu diikuti dengngan pengikatan komponen B pada sel inang, dan subunit A dimasukkan melalui mekanisme pemasukan secara langsung. Subunit A bekerja secara enzimatis dan mentransfer ADP ribosil meioty dari NAD menuju ke membran, terikat protein Gi yang secara normal menghambat adenilat siklase eukariot. Konversi dari ATP menjadi AMP tidak dapat dihentikan dan level cAMP selular meningkat. Hal ini menyebabkan penurunan fungsi kerja sel. Dan dalam kasus fagositosis, penurunan aktivitas fagosotik seperti kemotaksis dan oksidatif. Efek sistemik dari racun ini termasuk limpositosis dan alternasi dari aktivitas hormonal yang diatur oleh cAMP, seperti peningkatan produksi insulin, dan peningkatan sensivitas histamin. PTx juga dapat mempengaruhi pada sistim kekebalan tubuh. Sel B dan sel T yang meninggalkan sistem limfatik menunjukkan ketidak mampuan untuk kembali. Alternasi ini yakni respon AMI dan CMI mungkin menjelaskan frekuensi yang tinggi dari infeksi sekunder yang menyebabkan pertusis.
Meskipun efek dari racun pertusis pada ADP ribosilasi, terlihat bahwa lebih banyak peningkatan oligomer B dapat memunculkan sebuah respon pada permukaan sel seperti mitogenesis limfosit, aktivitas platelet, dan efek produksi insulin. Gen pengkode racun pada bakteri ini dapat diklonkan pada  E. Coli. Dan ekspresinya yang berupa racun ini dapat dinonaktifkan dan dikonversikan menjadi toxoid yang dipakai sebagai komponen vaksin.
Menurut Survey yang dilakukan Depkes medan, dikota meda pertusis sering terjadi pada anak, umur 1-4 tahun : 10%, 5-9 tahun : 35%, 9-12 tahun : 25%, 12 tahun lebih : 30%, yang dilakukan penelitian pada tahun 2008 di beberapa kota. Angka kematian yang diakibatkan penyakit pertusis pada anak umur 1-12 tahun  sebanyak 350 kasus.(Depkes Medan, 2008)
Sedangkan di Kabupaten Deli Serdang, penelitian yang dilakukan siswanto, didapatkan kasus pertusis sekitar 250 kasus yang didata dari rumah sakit yang ada Kab. Deli Serdang. Yang diakibatkan oleh lambat nya orangtua dari si anak untuk berobat kerumah sakit atau tempet pelayanan kesehatan terdekat. (siswanto, 2008)

Senin, 23 Mei 2011

KOMUNIKASI TERAPEUTIK OLEH BIDAN
Komunikasi merupakan suatu dasar dan kunci seseorang dalam menjalankan tugasnya, komunikasi merupakan suatu proses dalam perawatan untuk menjalankan dan menciptakan hubungan dengan pasien, komunikasi tampaknya sederhana tetapi untuk menjadikan suatu komunikasi berguna dan efektif membutuhkan usaha dan keterampilan serta kemampuan dalam bidang itu (Arifin, 2002).
Tidak ada persoalan sosial manusia dihadapkan dengan masalah sosial yang penyelesaiannya menyangkut komunikasi yang lebih baik, Setiap hari semua orang melakukan proses komunikasi. Sering kali akibat komunikasi yang tidak tepat terjadi perbedaan pandangan atau salah paham. Oleh karena itu setiap orang perlu memahami konsep dan proses komunikasi untuk meningkatkan hubungan antar manusia dan mencegah kesalah pahaman yang mungkin terjadi, hubungan komunikasi terapeutik antara perawat atau bidan dengan pasien adalah hubungan kerjasama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik (Utami P, 1998).
Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2008, di Indonesia bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas sebanyak 540 orang. Bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas di Singapura sebanyak 460 orang, Bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas di Malaysia sebanyak 650 orang dan di Thailand sebanyak 710 orang.(WHO,2008)
Dasawarsa terakhir masalah komunikasi antara petugas kesehatan dan pasien telah mendapatkan sorotan luas karena adanya beberapa laporan riset yang di kumpulkan Faulkner (1984), laporan tersebut mengungkapkan bahwa banyak pasien yang merasa tidak pernah menerima cukup informasi (Nancy, 1988).
Menurut data dari Depkes Indonesia, Dari hasil penelitian di RSUP Cipto Mangunkusumo tahun 2006-2009 diperoleh bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas sebanyak 235 orang.(Depkes RI, 2008)
Komunikasi merupakan unsur yang penting dalam aktifitas dan bagian yang selalu ada dalam proses manajemen keperawatan atau kebidanan. Berdasarkan hasil penelitian Swansburg (1990), bahwa lebih dari 80% waktu yang digunakan untuk berkomunikasi, 16% untuk membaca dan 9% untuk menulis. Pengembangan keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kiat sukses bagi seorang bidan karena terlalu banyak waktu yang digunakan untuk komunikasi, mendengar, berbicara jadi jelas bahwa bidan harus mempunyai keterampilan interpersonal yang baik, karena praktek kebidanan berorientasi pada hubungan interpersonal dalam mencapai suatu tujuan organisasi, maka untuk menciptakan komitmen dan rasa kebersamaan perlu ditunjang keterampilan dalam berkomunikasi (Nursalam, 2002).
Menurut data dari Depkes Sumatera Utara, Dari hasil penelitian joni di RSIA Badrul Aini Medan tahun 2007-2010 diperoleh bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas sebanyak 90 orang.Dengan 30% dari 90 orang berpengetahuan cukup, 45% dari 90 orang berpengetahuan kurang, dan yang berpengetahuan baik sebanyak 25%. (Depkes Medan, 2008)
Berdasarkan kurikulum Program Studi Kebidanan Metro terprogram sebagai mata kuliah komunikasi kebidanan yang isinya tentang komunikasi terapeutik diajarkan pada semester III diharapkan mahasiswi bisa menerapkan komunikasi terapeutik secara efektif, hal ini yang melatar belakangi penulis ingin mengetahui bagaimana setelah mahasiswi mendapatkan mata kuliah komunikasi terapeutik keterampilan pelaksanaan komunikasi terapeutik yang di lakukan mahasiswi Program Studi Kebidanan Metro Tingkat II sudah sesuai dengan teori yang di berikan atau tidak.