Selasa, 31 Mei 2011

PENYAKIT MENULAR

Diposkan oleh : Muhamad rafai, 25 Juni 2008
Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis. Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um , ovoid  kokobasil, tidak bergerak, gram negative , tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50ºC tetapi bertahan pada suhu tendah 0- 10ºC dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.Tersebar diseluruh dunia . ditempat tempat yang padat penduduknya dan dapat berupa endemic pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack rate 80-100 % pada penduduk yang rentan. Bersifat endemic dengan siklus 3-4 tahun antara juli sampai oktober sesudah akumulasi kelompok rentan,  Menyerang semua golongan umur yang terbanyak anak umur , 1tahun, perempuan lebih sering dari laki laki, makin muda yang terkena pertusis makin berbahaya. Insiden puncak  antara 1-5 tahun, dengan persentase kurang dari satu tahun : 45%, 1-4 tahun : 15%, 5-9 tahun : 15%, 12 tahun lebih: 25% ( Amerika tahun 2007).
Bordetella pertusis merupakan bakteri penyebab penyakit batuk rejan (Whooping caugh). B. Pertusis adalah bakteri coccobacilus  gram negatif aerob yang berukuran sangat kecil dan hidup secara tunggal atau berpasangan. Metabolismenya adalah respirasi, tidak pernah fermentasi, dan secara taksonomi B. Pertusis ditempatkan pada ``Gram-negative Aerobic Rods and Cocci`` dalam taksonomi Bergey. Bakteri ini dapat dibiakkan dalam media kaya yang disuplemen dengan darah. Bakteri ini dapat ditumbuhkan pada medium yang terdiri dari buffer, garam dan sumber energi asam amino dan faktor penumbuh seperti nikotinamid.
Menurut data dari World Helath Organization, di Negara-negara berkembang banyak nya kasus pertusis terjadi pada umur 1-4 tahun : 29%, 5-9 tahun : 40%, 9-12 tahun : 15%, 12 tahun lebih : 16%, yang dilakukan penelitian pada tahun 2009 dinegara berkembang seperti amerika, china, jepang, dan korea. Angka kematian yang diakibatkan penyakit pertusis pada anak umur 1-12 tahun  sebanyak 1.500 kasus.(WHO, 2008)
 Bakteri B. Pertusis berkoloni pada silia dari sel-sel epitel  pernapasan manusia. Secara umum B. Pertusis tidak menginvasi jaringan, namun ada juga yang terdapat dalam makrofag alveolar. Bakteri ini bersifat patogen pada manusia dan beberapa macam primata tingkat tinggi lainnya. B. Pertusis dapat menghasilkan bermacam substansi dengan aktivitas racun yang dapat digolongkan ke dalam golongan eksotoksik dan endotoksik. Sekretnya memiliki adenilat siklase yang memasuki sel mamalia. Racun ini aktif secara lokal dan mengurangi aktivitas fagosit dan kemungkinan mambantu organisme untuk melakukan permulaan infeksi. Adenilat siklase diketahui sebagai hemolosin karena ia dapat melisiskan sel darah merah. Faktanya, ia bertanggung jawab terhadap keberadaan zona hemolisis sekitar koloni B. Pertusis yang ditumbuhkan dalam medium agar darah.
Selain itu racun yang dihasilkan oleh B. Pertusis adalah letal toksin atau biasa dikenal dengan sebutan dermonecrotic toxin yang menyebabkan inflamasi dan nekrosis lokal pada sisi B. Pertusis berada. Racun lain yang dihasilkan adalah tracheal cytotoxin yang beracun bagi epitel bersilia trakhea dan menghentikan detakan silia sel. Tracheal cytotoxin adalah fragmen peptidoglikan, yang tampak pada cairan ekstra sel dimana bakteri tumbuh secara aktif. Substansi ini membunuh sel bersilia dan menyebabkan ekstruksi mukosa. Bahan ini dapat merangsang pelepasan cytokinIL-1, dan juga menyebabkan demam.
Menurut data dari Survey Demografi Kesehatan Indonesia, penyakit pertusis sering terjadi pada                 anak-anak, umur 1-4 tahun : 15%, 5-9 tahun : 25%, 9-12 tahun : 40%, 12 tahun lebih : 20%, yang dilakukan penelitian pada tahun 2009 di beberapa kota di indonesia. Angka kematian yang diakibatkan penyakit pertusis pada anak umur 1-12 tahun  sebanyak 350 kasus.(Depkes RI, 2008)
Produk racun lain yang dihasilkan bakteri ini adalah pertusis toxin (PTx). Bahan ini adalah protein yang memperantarai kolonisasi dan tahaptoxoemic dari penyakit. PTx adalah dua komponen yakni eksotoksin A+B dari bakteri. Sub unit A adalah ADP ribosil transferase, sedangkan komponen B terdiri dari lima sub unit polipeptida. Terikat pada karbohidrat spesifik di permukaan sel. PTx ditransformasikan dari sisi tempat tumbuh B. Pertusis menuju ke berbagai macam sel yang dapat menerima dan jaringan dari inang. Setelah itu diikuti dengngan pengikatan komponen B pada sel inang, dan subunit A dimasukkan melalui mekanisme pemasukan secara langsung. Subunit A bekerja secara enzimatis dan mentransfer ADP ribosil meioty dari NAD menuju ke membran, terikat protein Gi yang secara normal menghambat adenilat siklase eukariot. Konversi dari ATP menjadi AMP tidak dapat dihentikan dan level cAMP selular meningkat. Hal ini menyebabkan penurunan fungsi kerja sel. Dan dalam kasus fagositosis, penurunan aktivitas fagosotik seperti kemotaksis dan oksidatif. Efek sistemik dari racun ini termasuk limpositosis dan alternasi dari aktivitas hormonal yang diatur oleh cAMP, seperti peningkatan produksi insulin, dan peningkatan sensivitas histamin. PTx juga dapat mempengaruhi pada sistim kekebalan tubuh. Sel B dan sel T yang meninggalkan sistem limfatik menunjukkan ketidak mampuan untuk kembali. Alternasi ini yakni respon AMI dan CMI mungkin menjelaskan frekuensi yang tinggi dari infeksi sekunder yang menyebabkan pertusis.
Meskipun efek dari racun pertusis pada ADP ribosilasi, terlihat bahwa lebih banyak peningkatan oligomer B dapat memunculkan sebuah respon pada permukaan sel seperti mitogenesis limfosit, aktivitas platelet, dan efek produksi insulin. Gen pengkode racun pada bakteri ini dapat diklonkan pada  E. Coli. Dan ekspresinya yang berupa racun ini dapat dinonaktifkan dan dikonversikan menjadi toxoid yang dipakai sebagai komponen vaksin.
Menurut Survey yang dilakukan Depkes medan, dikota meda pertusis sering terjadi pada anak, umur 1-4 tahun : 10%, 5-9 tahun : 35%, 9-12 tahun : 25%, 12 tahun lebih : 30%, yang dilakukan penelitian pada tahun 2008 di beberapa kota. Angka kematian yang diakibatkan penyakit pertusis pada anak umur 1-12 tahun  sebanyak 350 kasus.(Depkes Medan, 2008)
Sedangkan di Kabupaten Deli Serdang, penelitian yang dilakukan siswanto, didapatkan kasus pertusis sekitar 250 kasus yang didata dari rumah sakit yang ada Kab. Deli Serdang. Yang diakibatkan oleh lambat nya orangtua dari si anak untuk berobat kerumah sakit atau tempet pelayanan kesehatan terdekat. (siswanto, 2008)

Senin, 23 Mei 2011

KOMUNIKASI TERAPEUTIK OLEH BIDAN
Komunikasi merupakan suatu dasar dan kunci seseorang dalam menjalankan tugasnya, komunikasi merupakan suatu proses dalam perawatan untuk menjalankan dan menciptakan hubungan dengan pasien, komunikasi tampaknya sederhana tetapi untuk menjadikan suatu komunikasi berguna dan efektif membutuhkan usaha dan keterampilan serta kemampuan dalam bidang itu (Arifin, 2002).
Tidak ada persoalan sosial manusia dihadapkan dengan masalah sosial yang penyelesaiannya menyangkut komunikasi yang lebih baik, Setiap hari semua orang melakukan proses komunikasi. Sering kali akibat komunikasi yang tidak tepat terjadi perbedaan pandangan atau salah paham. Oleh karena itu setiap orang perlu memahami konsep dan proses komunikasi untuk meningkatkan hubungan antar manusia dan mencegah kesalah pahaman yang mungkin terjadi, hubungan komunikasi terapeutik antara perawat atau bidan dengan pasien adalah hubungan kerjasama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik (Utami P, 1998).
Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2008, di Indonesia bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas sebanyak 540 orang. Bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas di Singapura sebanyak 460 orang, Bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas di Malaysia sebanyak 650 orang dan di Thailand sebanyak 710 orang.(WHO,2008)
Dasawarsa terakhir masalah komunikasi antara petugas kesehatan dan pasien telah mendapatkan sorotan luas karena adanya beberapa laporan riset yang di kumpulkan Faulkner (1984), laporan tersebut mengungkapkan bahwa banyak pasien yang merasa tidak pernah menerima cukup informasi (Nancy, 1988).
Menurut data dari Depkes Indonesia, Dari hasil penelitian di RSUP Cipto Mangunkusumo tahun 2006-2009 diperoleh bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas sebanyak 235 orang.(Depkes RI, 2008)
Komunikasi merupakan unsur yang penting dalam aktifitas dan bagian yang selalu ada dalam proses manajemen keperawatan atau kebidanan. Berdasarkan hasil penelitian Swansburg (1990), bahwa lebih dari 80% waktu yang digunakan untuk berkomunikasi, 16% untuk membaca dan 9% untuk menulis. Pengembangan keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kiat sukses bagi seorang bidan karena terlalu banyak waktu yang digunakan untuk komunikasi, mendengar, berbicara jadi jelas bahwa bidan harus mempunyai keterampilan interpersonal yang baik, karena praktek kebidanan berorientasi pada hubungan interpersonal dalam mencapai suatu tujuan organisasi, maka untuk menciptakan komitmen dan rasa kebersamaan perlu ditunjang keterampilan dalam berkomunikasi (Nursalam, 2002).
Menurut data dari Depkes Sumatera Utara, Dari hasil penelitian joni di RSIA Badrul Aini Medan tahun 2007-2010 diperoleh bidan yang melaksanakan komunikasi terapeutik dalam pelaksanan asuhan kebidanan pada ibu nifas sebanyak 90 orang.Dengan 30% dari 90 orang berpengetahuan cukup, 45% dari 90 orang berpengetahuan kurang, dan yang berpengetahuan baik sebanyak 25%. (Depkes Medan, 2008)
Berdasarkan kurikulum Program Studi Kebidanan Metro terprogram sebagai mata kuliah komunikasi kebidanan yang isinya tentang komunikasi terapeutik diajarkan pada semester III diharapkan mahasiswi bisa menerapkan komunikasi terapeutik secara efektif, hal ini yang melatar belakangi penulis ingin mengetahui bagaimana setelah mahasiswi mendapatkan mata kuliah komunikasi terapeutik keterampilan pelaksanaan komunikasi terapeutik yang di lakukan mahasiswi Program Studi Kebidanan Metro Tingkat II sudah sesuai dengan teori yang di berikan atau tidak.

MAKANAN SIAP SAJI MEMBURUK KESEHATAN TUBUH IBU HAMIL
MENGONSUMSI terlalu banyak makanan cepat saji (fast food) tidak hanya menyebabkan obesitas tetapi juga mengikis kemampuan otak. Menurut co-author studi Andrew Murray, ada hubungan yang sangat erat antara makanan dan cara berpikir terhadap cara kerja tubuh. Diet yang kaya lemak misalnya, terang dia, berkaitan dengan komplikasi jangka panjang seperti obesitas, diabetes, dan gagal jantung. Sedang dampak jangka pendeknya bahkan relatif hanya diabaikan saja.
Rata - rata anak kost di Indonesia pernah namanya makananan siap saji, bukan?... jangankan anak kost anak - anak kecilpun sudah disuguhi dengan makanan yang instan dan apesnya mereka menyukainya. Sebenarnya gaya hidup sekarang memang berbeda jauh dari djaman doeloe, sekarang semua serba instant sampai pola makanpun terkena imbasnya. Dan bisa anda jumpai banyak sekali menjamur makanan siap saji di kota - kota besar dan selalu ramai dengan pengunjung terutama kaula muda. Sebenarnya berapa berbahayanya dan berapa keuntungan yang di dapat dari memakan makanan siap saji dan makanan yang diawetkan?

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari University of Colorado ternyata segala yang dikonsumsi oleh seorang ibu yang tengah mengandung kelak akan diikuti pula oleh sang anak. Hal itu dikarenakan otak anak menganggap bahwa setiap makanan yang dikonsumsi oleh ibunya adalah nutrisi yang aman. Jadi hati-hati memilih makanan saat hamil, sebab hal itu mempengaruhi persepsi.
makanan cepat saji bukanlah makanan sehat untuk tubuh, tapi masih saja makanan ini masih menjadi favorit dan banyak penggemarnya. Sayangnya hingga kini memang belum ada alternatif makanan pengganti makanan cepat saji. Ahli gizi Namrata Desai seperti dikutip dari ToI menyarankan beberapa hal. “Pencegahan memang selalu bermanfaat, tapi jangan lupa pola makan moderat
Makanan yang mengandung banyak zat bergizi tentu merupakan suatu kebutuhan bagi ibu hamil. Namun, seringkali ibu hamil melupakan hal ini, yang disebabkan oleh kebutuhan enrgi ibu hamil untuk menjamin kelancaran persalinan dan kehamilan. Untuk itu, ada beberapa cara agar ibu hamil dapat memenuhi makanan bergiizi pada saat persalinan.
Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, memperkirakan terdapat 2,3 ribu ibu hamil yang mengkonsumsi makanan siap saji pada 2015. Angka tahun 2009 memperlihatkan 1,6 ribu ibu hamil yang mengkonsumsi makanan siap saji.
Depkes Indonesia, memperkirakan terdapat 650 ibu hamil yang mengkonsumsi makanan siap saji data ini didapatkan dari berbagai kota di Indonesia, seperti jawa Tengah, Jakarta, Bali. Angka tahun 2009 memperlihatkan 1500 ibu hamil yang mengkonsumsi makanan siap saji data ini didapatkan dari berbagai kota di Indonesia yang didapatkan dari kota banten, Jogjakarta, pelmbang, solo.
Menurut data dari Depkes   Sumatera Utara, angka kejadian obesitas yang disebabkan makanan siap saji atau junkfood terdapat sebanyak 1,2 ribu ibu hamil yang mengkonsumsi makanan siap saji pada tahun 2004. Angka pada tahun tahun 2010 memperlihatkan 1,6 ribu ibu hamil yang mengkonsumsi makanan siap saji
 MAKANAN SIAP SAJI ADALAH RACUN
Kemajuan ilmu dan  teknologi berkembang dengan pesat diberbagai bidang, termasuk dalam bidang  pangan, kemajuan teknologi ini membawa dampak positif maupun negatif. Dampak positif teknologi tersebut mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas pangan, juga meningkatkan diversivikasi, hygiene, sanitasi, praktis dan lebih ekonomis.  Dampak negatif kemajuan teknologi tersebut ternyata cukup besar bagi kesehatan konsumen dengan adanya penggunaan zat aditif yang berbahaya.
Angka kelebihan berat atau obesitas meningkat di hampir semua tempat dunia. Hampir di seluruh belahan dunia, orang-orang semakin bertambah berat badan atau menjadi gemuk.
Organisasi Kesehatan Dunia, WHO menyatakan bahwa obesitas telah menjadi masalah dunia. Di Indonesia prevalensi obesitas tahun 2002 diperkirakan 22%-24%. Di Provinsi Bali tahun 2004 prevalensinya 11,18% pada kelompok umur 18-29 tahun. Masalah gizi lebih ini bukan hanya ditemukan pada penduduk dewasa, tetapi juga pada anak–anak dan remaja. Pada tahun 2008 WHO melakukan penelitian dan mendapat sebanyak 350 orang dinegara berkembang berat tubuh nya naik setelah mereka mengkonsumsi jajanan siap saji. Usia 18 tahun akan menjadi usia penentuan bagi seorang remaja memiliki bentuk tubuh berkategori Obesitas.(WHO,2008)
Obesitas atau kegemukan selalu dikaitkan dengan faktor genetik, pola makan, aktivitas fisik dan faktor lingkungan lain. Anggapan bahwa obesitas mungkin sebagai penyakit menular dapat dukungan baru dalam studi yang dilakukan para peneliti dari San Diego Shool of Medecine, University of California.
Ilmuwan menemukan bahwa ‘ledakan’ obesitas khususnya di dunia Barat selama 30 tahun terakhir ini salah satunya disebabkan andenovirus yang dapat menular layaknya penyakit infeksi.
Dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics ditemukan fakta bahwa anak-anak yang terpapar strain adenovirus tertentu akan secara signifikan lebih cenderung menjadi gemuk.
B Jeffrey Schwimmer, MD, profesor pediatri klinis di UC San Diego, dan rekan meneliti 124 anak-anak, usia 8-18, atas kehadiran antibodi spesifik untuk adenovirus 36 (AD36), salah satu dari lebih dari 50 strain adenovirus dikenal menginfeksi manusia dan menyebabkan beragam pernafasan, infeksi gastrointestinal dan lainnya. AD36 adalah adenovirus manusia hanya saat ini terkait dengan obesitas manusia.
Untuk studi itu, Jeffrey B. Schwimmer, MD, profesor pediatri klinis di UC San Diego, bersama koleganya mengamati 124 anak-anak berusia 8-18 tahun mengenai keberadaan antibodi khusus terhadap adenovirus 36 (AD36), yang merupakan satu dari sekitar 50 strain adenovirus yang menginfeksi manusia dan menyebabkan beragam infeksi saluran pernapasan,saluran pencernaan dan lainnya. AD36 merupakan satu-satunya adenovirus manusia yang saat ini dikaitkan dengan obesitas.

Depkes Indonesia, memperkirakan terdapat 2,3 juta orang dewasa yang memiliki berat badan berlebih pada 2015. Sebanyak 700 ribu di antaranya tergolong obesitas. Angka tahun 2009 memperlihatkan 1,6 miliar dewasa dengan berat badan berlebih dan 400 juta tergolong obesitas.(Depkes, 2008)
Tercatat lebih dari separuh dari anak-anak yang terlibat dalam studi itu (67) dianggap obesitas, berdasarkan indeks massa tubuh (BMI) yang tercatat di 95 negara atau lebih. Tim peneliti mendeteksi adanya antibodi yang spesifik terhadap AD36 pada 19 anak (15%). Mayoritas anak-anak yang positif AD36 ini (78%) obesitas, dan antibodi AD36 jauh lebih sering berada di anak obesitas (15 dari 67) dibandingkan pada anak yang tidak obesitas (4 dari 57).
Anak-anak yang positif AD36 memiliki berat badan hampir 22,73 kg lebih berat, secara rata-rata, dibandingkan dengan anak-anak yang negatif AD36. Di dalam kelompok anak obesitas ini, mereka yang terbukti mengalami infeksi AD36, rata-rata memiliki bobot 15,91 kg lebih berat ketimbang anak yang negatif AD36.
“Jumlah kelebihan berat badan ini merupakan keprihatinan besar di segala usia, tapi yang paling utama adalah untuk anak-anak,” ujar Schwimmer, yang juga direktur Weight and Wellness di Rady Children’s Hospital di San Diego.
Obesitas dapat menjadi penanda masalah kesehatan di kemudian hari, seperti penyakit jantung, liver dan diabetes. Dan kelebihan 15,91 kg hingga 22,73 kg lebih dari cukup untuk meningkatkan risiko mengalami penyakit itu.

Menurut data dari Depkes   Sumatera Utara, angka kejadian obesitas yang disebabkan makanan siap saji atau junkfood terdapat sebanyak 1,2 ribu orang dewasa yang memiliki berat badan berlebih pada 2008. Sebanyak 700 orang di antaranya tergolong obesitas. Angka pada tahun tahun 2010 memperlihatkan 1,6 ribu dewasa dengan berat badan berlebih dan 800 orang tergolong obesitas.(Depkes Medan, 2008)
“Banyak orang percaya obesitas merupakan kesalahan sendiri atau kesalahan orangtua atau keluarga. Studi ini dapat membantu menunjukkan bahwa berat badan lebih rumit akibatnya daripada membuat badan menjadi gendut. Dan kini saatnya kita melupakan untuk menyalahkan diri sendiri atau orang lain demi membangun tingkat pemahaman yang dapat mendukung upaya pencegahan dan pengobatan yang lebih baik. Data ini menambahkan kepercayaan pada konsep bahwa infeksi bisa menjadi penyebab atau penyumbang terhadap obesitas.”